Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta, Muhidin M. Dahlan

Kamu punya keinginan untuk menjadi penulis? Baca buku ini dan pikirkan lagi. Buku ini bukan berisi kiat untuk menjadi penulis. Tapi berupa pengalaman seorang penulis. Di sini tokoh Aku—yang kemungkinan besar adalah si penulis sendiri, Muhidin M. Dahlan (karena “Aku” adalah seorang laki-laki). Walaupun ia tak pernah memperkenalkan dirinya sebagai Gus Muh—menceritakan pengalamannya sebelum ia menjadi penulis. Dari perjumpaannya dengan buku hingga ia berurusan dengan penerbitan buku. Segalanya tampak mengalir dan berkesinambungan.

Si Aku kecil lahir di pulau Sulawesi. Ia berasal dari keluarga nelayan. Bapaknya seorang nelayan. Kehidupannya tak jauh-jauh dari laut. Keluarga Si Aku tak memiliki tradisi membaca yang baik. Jangankan membaca buku, koran pun tak ada, yang ada hanya kitab suci dan buku barzanji. Perjumpaan awalnya dengan buku selain itu adalah ketika ia berada di bangku sekolah. Gurunya selalu mengajar menggunakan buku pelajaran, sedangkan muridnya disuruhnya untuk mencatat. Dari kemalasannya untuk mencatat itulah ia meminta orangtuanya untuk membelikannya buku. Sekarang ia tak perlu capek-capek mencatat lagi. Buku-buku itulah bacaan awal si Aku. Ia tak hanya membacanya, bahkan menghafalnya, sehingga ia sering mendapat nilai yang bagus di sekolah.

Perjumpaannya dengan buku tak berhenti sampai di situ saja. Setelah ia lulus, ia memilih untuk merantau ke kota, melanjutkan sekolahnya. Di sana ia menjadi sering mengunjungi perpustakaan daerah untuk memenuhi kebutuhannya akan bacaan. Selain itu ia juga mengikuti organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) yang membuatnya harus terus menyuplai bacaannya untuk kemudian didiskusikan. Saat itu buku-buku bertema Islam lah yang lebih banyak ia baca. Ia terpengaruh bacaan-bacaan seniornya di dalam organisasi Islam itu.

Tuntas sudah sekolahnya di kota. Langkah berikutnya adalah gerbang utama menuju kehidupan literasinya yang lebih luas. Ia memutuskan untuk kuliah di Jawa, tepatnya di Yogyakarta. Ia mendaftar di IKIP Yogyakarta. Selama hidup di sana, ia tinggal di asrama miik suatu yayasan, tanpa biaya. Karena ia tak membayar biaya sewa, sangu dari orangtuanya ia manfaatkan untuk membeli lebih banyak buku. Dalam beberapa bulan uangnya hampir tandas untuk memborong buku, memuaskan nafsu yang tak terlampiaskan selama di pulau asalnya. Juga karena Yogya dengan kekayaan literasinya yang berlimpah.

Kehidupan perkuliahan si Aku tidak dihabiskan untuk menyuntuki buku saja. Ia juga masuk dan berproses dalam lembaga Majalah Kampus, tempat dimana ia belajar menulis. Totalitasnya dalam belajar di sana membuatnya didapuk menjadi seorang editor. Dengan sifat kerasnya, ia sampai menggertak kawannya yang ogah-ogahan. Kalimat seperti ini pernah keluar dari mulutnya,

“Siapa suruh masuk ke sini, Di sini bukan tempat untuk ngerumpi. Di sini tempat orang untuk menulis dan membaca. Titik. Kalau mau santai, ya masuk ke tempat lain. Masuk Kopma sana. Siapa yang tidak bisa menulis minggir.”

Selain menjadi editor, ia juga sesekali mencoba peruntungan dengan menulis tulisan untuk koran atau majalah. Itu adalah salah satu caranya untuk latihan menulis selain menulis untuk majalah kampusnya. Di lain waktu, kemampuannya menulis (dan bahkan layout) ia gunakan dengan cerdik untuk mengurusi persoalan cintanya. Bayangkan saja, ia menyatakan cintanya dengan membuat sendiri buletin yang semuanya diisi oleh tulisannya untuk si perempuan. Namun sayang, si perempuan tak ada respon lebih dan lebih memilih dengan yang lain. Dari situ si Aku yang patah hati memutuskannya dengan sepotong sajak—padahal ia belum sampai berpacaran. Sayang sekali.

Proses berorganisasinya tak selalu mulus seperti jalan tol. Tetap saja ada geronjalan yang menyertainya. Seperti ketaksesuaian dengan Pemimpin Umum (PU) (yang berakhir dengan berhentinya PU itu hanya dalam dua bulan saja), atau bahkan hingga ia dikeluarkan dari tempatnya belajar menulis itu karena adanya Cut Generation (pemotongan generasi).

“Majalah harus diputihkan dari makhluk-makhluk lama yang brengsek itu,” kata mantan PU Majalah Kampus dengan penuh emosi.

Selain masalah-masalah serius itu juga ada masalah pada bagian atas yang cukup berpengaruh. Masalah PU dengan Pemred. Di sana dua orang itu terjerat kisah cinta segitiga dengan seorang yang lain. Pada akhirnya mereka berpisah semua, dan kerja keredaksian agak pincang karena salah satu di antaranya ada yang menghilang. Masalah seperti itu juga kadang menjangkiti lembaga-lembaga serupa. Setidaknya saya sendiri pernah tahu seperti Pemred yang menghilang atau bahkan PU dan Pemred yang saling adu jotos. Tapi itu semua tak mengapa. Wajar.

Selama ia di Majalah Kampus, kuliahnya tak terurus. Ia akhirnya sampai pada keputusannya yang final. Keluar dari IKIP. Dari situ kehidupannya untuk menjadi penulis baru saja dimulai. Ia kembali kepada pekerjaan awalnya yaitu menulis untuk koran. Dari upah menulis itulah ia bisa bertahan hidup. Walaupun harus berbagi antara uang untuk makan dan membeli buku. Koneksinya dengan banyak orang membuatnya mendapat pekerjaan sebagai editor di sebuah penerbitan. Tapi itu tak berjalan lama karena tiap ia bekerja di penerbit selalu saja ada masalah yang menimpanya.

Dengan pekerjaannya yang tak pasti seperti itu, ia terus bertahan hidup. Ia mengandalkan uang kiriman orang tua yang jarang, upah menulis di koran, atau upah bekerja di penerbitan yang tak begitu banyak. Melihat hidupnya yang seperti itu juga seperti melihat kehidupan tokoh Aku dalam novel Lapar karya Knut Hamsun. Mereka berdua sama-sama mengandalkan upah menulis di koran untuk menghidupi dirinya. Kebutuhan akan makanan dan bacaan terus mendesaknya.

Ketika si Aku berada pada titik nadir dalam usahanya menjadi seorang penulis, ia membayangkan bertemu dengan Karl Marx yang bertengger di jendela pondokannya. Marx dengan Manifesto Komunisnya yang terkenal itu membuatnya tergerak untuk membuat hal serupa untuk ia patuhi. Dan inilah Manifesto Menulis yang harus dipahami oleh mereka yang berkeinginan untuk menjadi penulis.

“Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”

Tinggalkan komentar