The Satanic Verses, Salman Rushdie

Di sini ada (ayat-ayat) setan. Sebelum membaca novel ini saya sempat mengucapkan: Audzubillahiminassyaitonirrojim; dan sesaat kemudian merasa apa yang baru saja diucapkan itu kurang pas, karena saya membacanya di bulan ramadan di mana para setan sedang dikerangkeng—begitulah yang saya tangkap dari penceramah pada kultum dalam tarawih. Usai membaca novel ini tak ada yang terjadi, setan nongol, kesurupan … tak ada.

Dalam novelnya, Rushdie beberapa kali menceritakan soal setan, yang menghantui manusia dan menghantui iman. Barangkali yang terakhirlah yang membuat beberapa kelompok pembaca menjadi terusik. Hingga suatu pagi si penulis tiba-tiba mendapat panggilan telepon dari seseorang wartawan yang tak diketahui dari mana ia mendapat nomor teleponnya, berkata, “Bagaimana rasanya mengetahui bahwa anda mendapat fatwa hukuman mati oleh Ayatollah Khomeini?” “Rasanya tidak enak,” jawab Rushdie singkat.

Apa yang ditulis Rushdie sehingga membuatnya diteror fatwa hukuman mati kemudian memutuskan untuk bersembunyi selama bertahun-tahun? Ia menulis penggalan cerita Nabi Muhammad, dengan nama yang kontroversial dan cerita yang sedikit berbeda dari sejarah.

Secara garis besar novel ini menceritakan dua orang aktor kelahiran India yang ngetop di jagat perfilman Inggris, Gibreel Farishta dan Saladin Chamcha. Sekali waktu mereka bertemu dalam penerbangan kemudian menjadi akrab, hingga suatu hal yang tak enak terjadi. Pesawat mereka dibajak dan salah satu di antara pembajak itu meledakkan diri di dalam pesawat.

Pesawat yang meledak itu memuntahkan seluruh isinya ke langit. Gibreel dan Saladin terjun bebas, tanpa parasut, tanpa sayap, ke arah laut lepas. Dalam penerjunan itu mereka masih saling berkomunikasi dengan sesekali merasa ngeri bahwa mereka akan jatuh menghantam permukaan laut. Namun suatu hal menyelamatkan mereka, sesuatu yang menyuruhnya untuk terus bernyanyi dan mengepakkan kedua tangannya. Benarlah, ketika hampir mendekati permukaan laut mereka melayang seperti secarik kertas yang tertiup angin.

Setelah peristiwa terjun bebas itu mereka terdampar di bibir pantai Inggris dan seorang nenek tua menemukannya kemudian membawa mereka ke rumah. Nasib memisahkan mereka ketika petugas kepolisian mendatangi rumah itu dan membawa Saladin tanpa Gibreel yang terselamatkan berkat si nenek tua.

Sejak saat itu Gibreel dan Saladin menjalani jatuh bangun kehidupannya masing-masing. Mereka tetap hidup di London, bekerja sebagai artis yang menghiasi layar kaca Inggris, film atau acara televisi.

Titik balik kehidupan Gibreel adalah ketika ia mulai bermain peran dalam film tentang Nabi Muhammad. Ia berperan sebagai sang Nabi sekaligus malaikat jibril. Ketika adegan komunikasi antara sang Nabi dan malaikat jibril dalam gua itulah yang membuatnya goyah. Sebelumnya ia pernah mengalami kecelakaan pada pembuatan film lain yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit. Saat ia sedang sekarat dan memanggil-manggil Tuhannya ternyata tak ada respon apa pun. Sampai ketika sembuh, ia mencoba melanggar peraturan Tuhannya dengan memakan berbagai olahan makanan dari daging babi. Dan tidak ada petir atau murka Tuhan yang menimpanya. Dari situlah ia kehilangan imannya dan menjadi goyah ketika harus berperan sebagai sang Nabi dan malaikat Jibril.

Kisah Nabi yang Rushdie angkat dalam novelnya ini adalah bagian misi dakwah awal Nabi ketika di Makkah di mana kaum Quraisy mencoba berkompromi dengan Nabi terkait sembahan—tentu umat Islam dapat memahaminya dari latar belakang ayat “untukmu agamamu dan untukku agamaku” dalam surat Al-Kafirun. Dikisahkan para penyembah berhala itu memiliki tiga dewi yaitu Uzza sang wajah bercahaya, dewi kecantikan dan cinta; Manat sang gelap yang menggelapkan, dewi takdir; dan terakhir, tertinggi dari ketiga dewi itu, ibu para dewi, Lat sang mahakuasa. Sedangkan Tuhan sang Nabi hanya satu, yaitu Allah. Dalam perbedaan sembahan itu sang Nabi selalu dimusuhi dan tidak mendapat tempat dalam masyarakat penyembah berhala. Maka dari itu mereka mencoba berkompromi untuk menambahkan tiga dewi itu menjadi sembahan. Namun sang Nabi terang menolaknya karena mereka meminta untuk menyetarakan dewi Al-Lat dengan Allah. Selama penolakan itu pula masyarakat sekitar tak bisa berdamai dengan sang Nabi.

Sekali waktu pemimpin kaum penyembah berhala mengadakan kompetisi syair terbaik yang mengundang penyair dari penjuru negeri. Di tengah acara tersebut tiba-tiba sang Nabi datang ke sana kemudian naik ke mimbar. Dalam keadaan mata tertutup sang Nabi menyampaikan ayat yang ia dapat dari gua yaitu ayat yang (bisa dibilang) memperbolehkan berhala-berhala untuk disembah. Setelah itu semua penyembah berhala yang ada di sana sujud kepadanya.

Beberapa saat setelah kejadian itu sang Nabi menyadari bahwa ayat yang ia sampaikan itu adalah ayat-ayat setan sehingga membuatnya memutuskan untuk kembali ke gua dan mendapatkan ayat yang sebenarnya dari malaikat jibril—ayat-ayat pengganti itu kemudian masuk dalam surat An-Najm ayat 19-22.

Sekilas kisah tersebut tak ada yang mengusik keimanan—bahkan sampul bukunya tak memperlihatkan itu. Beberapa versi menampilkan gambar kupu-kupu atau dua orang dewa India yang sedang bertarung. Mengerikan kah? Tentu berbeda dengan kasus Charlie Hebdo yang dapat langsung diketahui melalui gambarnya. Sedangkan novel? Perlu dibaca dan dipahami konteksnya. Yang membuat pengisahan film itu berbeda dari sebenarnya yaitu di mana beberapa tokoh dan tempat menggunakan nama yang berbeda dari aslinya. Misalnya Jahilia-Makkah; Yathrib-Madinah; Gua Kelinci-Gua Hiro; Rumah Batu Hitam-Kakbah; Mahound-Muhammad yang mana dituliskan berarti sinonim dari iblis—menurut McRoy (2007) dikatakan sebagai istilah untuk menghina Muhammad yang digunakan oleh Inggris selama Perang Salib; bahkan menggunakan nama-nama istri Rasul sebagai nama untuk para pelacur. Hal itulah yang kemudian menimbulkan kontroversi dalam novel ini.

Baca Juga: The Satanic Verses Controversy

Ketika membaca novel ini dan mendapati bagian-bagian “yang tidak sesuai dengan aslinya” tak membuat saya serta-merta menutup buku ini kemudian memakinya. Saya tetap melanjutkan pembacaan sampai khatam—itu bukan berarti menerima begitu saja apa yang saya baca. Alasan pertama yaitu novel itu merupakan karya fiksi, cerita rekaan, walau beberapa bagian terinspirasi dari kisah nyata tapi tetap saja direkayasa. Kedua, seperti yang dikatakan produser dan rekan pembuatan film sang Nabi yaitu bahwa yang diangkatnya merupakan fiksi—dalam satu sisi saya menyetujuinya, “fiksi adalah fiksi; fakta adalah fakta.” Salah satu tujuannya adalah untuk membuat film tentang Nabi yang lebih bagus daripada film serupa sebelumnya yang ketika sang Nabi berbicara hanyalah untanya saja yang terlihat bergerak mulutnya. Film seperti itu menurut mereka merupakan film yang tidak berkelas.

Berbicara tentang film Rasul, ketika kecil saya pernah mengaji di masjid dan kami dipertontonkan kartun kisah Rasul. Dalam hati begitu tertarik dan menunggu-nunggu bagaimana wajah sang Rasul digambarkan—walau hanya kartun. Namun setelah sampai pada bagian percakapan Rasul yang muncul hanyalah wajahnya yang bercahaya dan sesekali menampilkan unta-unta yang bergerak. Itu membuat sedikit dongkol—bertahun-tahun kemudian saya baru tahu bahwa penggambaran wajah Rasul itu dilarang—tapi ketika saatnya pulang, saya kembali bungah karena mendapat sekantung penuh jajanan—itu tradisi mengaji di masjid kami ketika ramadan.

Dan lagi, suatu ketika saya mencoba mencari tontonan di kanal televisi luar negeri lewat parabola dan menemukan sebuah film tentang Nabi Musa. Saya memutuskan untuk menonton film itu hingga selesai, dan ketika film itu hampir selesai muncul akhiran yang aneh. Diceritakan Firaun tidak mati! Ketika Nabi Musa dan Bani Israil membelah laut merah dan menyeberanginya, pasukan Firaun juga mengejarnya. Namun yang mati ditelan laut adalah pasukan berkudanya, bukan Firaun. Firaun tetap hidup, meratapi Musa di tepi laut. Ketika menonton film itu saya juga tidak langsung mematikan dan kemudian memakinya walau bertanya apakah si produser tak pernah membaca alquran? Dan beberapa tahun kemudian baru mengerti bahwa kisah seperti itu adalah kisah israiliat dan barangkali si produser merupakan salah satu orang yang membacanya.

Sebagai seorang muslim, saya menikmati novel itu—yang barangkali hanya bisa dinikmati oleh sesama muslim yang mengerti kisah “asli” di dalamnya—sebagaimana saya menikmati film Nabi Musa yang pernah saya tonton tanpa mengikis rasa hormat saya kepada Rasul. Bahkan meskipun Rushdie bermaksud menghina Rasul, saya tak akan membiarkan diri saya terpengaruh olehnya. Jika semua muslim bisa menerima seperti halnya membaca kisah israiliat, barangkali Rushdie tak harus mendapat fatwa yang mengerikan itu. Tapi mungkin itu cukup sulit karena Rasul merupakan nabi agung di dalam Islam.

Selain cerita sang Nabi yang menjadi kontroversial itu, novel ini juga menyajikan realisme magis. Ya, realisme magis seperti yang didapatkan ketika membaca Gabriel García Márquez—dan beberapa penulis Amerika Latin—dan yang lokal seperti Cantik itu Luka milik Eka Kurniawan. Realisme magis ala Rushdie ini sedikit berbau India (atau Arab) seperti rombongan haji yang berjalan kaki dan menyeberangi laut Arab dengan membelahnya seperti rambut yang disisir (seperti kisah Nabi Musa tapi mereka berjalan di dalam air), terompet malaikat Izrail yang mengeluarkan api, hantu berkarpet terbang, dan lampu ajaib.

Novel ini sungguh ajaib. Cobalah berhenti membaca novel-novel islami yang melulu soal cinta dan kawin. Cobalah membaca The Satanic Verses—agak islami karena beberapa tradisi Islam India hampir mirip di Indonesia—yang mungkin akan membuatmu sedikit berpikir mengenai sikap atau pandangan terhadap Islam terutama pada sang Rasul yang barangkali sudah kita pelajari sejak kecil.

Apa saya menyesal membaca novel ini? Tidak, saya menikmatinya seperti yang sudah dikatakan di atas. Namun seperti halnya terkena upas, saya pikir saya perlu sebuah penawar yaitu membaca kembali kisah Rasul dan nabi-nabi lainnya yang sudah lama tak dibacai lagi—terakhir kali membacanya ketika masa kecil melalui komik-komik kisah nabi … dan komik siksa neraka! Ada kah saran buku bagus mengenai sejarah para nabi dan rasul? Atau barangkali ada yang mau menceritai saya secara langsung? Tentu saja saya akan mendengarkannya dengan senang hati.

Tinggalkan komentar