Kiat Sukses Khatam Buku dalam Sepekan

Setiap kali putus asa melihat—dan merasa tidak yakin mampu membaca semua—tumpukan buku yang telanjur dimiliki, saya selalu menyangkalnya dengan keyakinan lain bahwa saya doyan membaca. Yang demikian juga saya lakukan ketika menghadapi seperiuk camilan; ialah bahwa saya doyan mencamil. Namun, tampaknya yang kedualah yang paling dapat dipercaya.

Orang-orang yang berani menyebut dirinya doyan membaca tentu memiliki riwayat panjang bagaimana ia meraih keberanian itu. Tetapi saya memilih tidak berani. Saya mengakui memiliki riwayat cekak, bahkan tak masak soal membaca.

Sebab pada mulanya adalah Baihaqi, kawan saya, yang paling bertanggung jawab atas ketidakberanian itu. Kawan-kawannya barangkali sependapat bahwa ia tampak tak seperti seorang kutu buku (Ia hampir tak pernah memamerkan buku yang tengah ia baca). Namun, pada suatu teduh siang ia sekonyong-konyong menjadi ceriwis ketika tengah menceritakan kembali nyaris seluruh alur kisah Cantik itu Luka. Dan ia berhasil memukau kami dengan novel itu sebagaimana Melquíades (tokoh dalam novel Seratus Tahun Kesunyian) memukau penduduk Macondo dengan magnet yang menggelimpangkan perkakas mereka.

Kami menjadi keranjingan novel debut Eka Kurniawan, dan celakanya saya tak mampu mengakhiri keranjingan itu. Saya membaca novel-novel Eka Kurniawan dan Eka Kurniawan membaca novel-novel lain. Kelak novel-novel yang Eka baca menjadi novel-novel yang ingin saya baca. Orang-orang tahu betul Eka pada setiap buku yang ia rampungkan kerap menulis semacam catatan pembacaan pada blog pribadinya. Dan itulah sumber lain petaka keputusasaan di hadapan buku-buku yang ingin dibaca.

Tetapi kenapa pula saya menyematkan masalah pada buku-buku yang ingin dibaca tapi nyatanya tak saya miliki? Ia tak boleh berjubel ke dalam masalah-masalah yang menyesaki tempurung kepala saya. Kalaupun boleh, ia hanya mendapat tempat di lidah, dan akan hilang bersama ludah yang saya lontarkan.

Masalah utama saya adalah bagaimana bisa membaca buku yang saya punya. Buku-buku cetak kian berjubel di rak serupa gerumbul bulir padi, tetapi hasrat untuk membacanya seperti tanaman padi yang kian terisi. Ditambah lagi koleksi buku elektronik yang berjejal di laptop. Jumlah bukunya seribu satu lebih.

Saya selalu berandai-andai sanggup membaca sehari satu buku—dan itu mustahil. Merasa keberatan, tantangan itu saya kurangi satu tingkat menjadi membaca satu buku sepekan. Tampaknya kini sedikit lebih baik. Saya menjadi cukup rajin memperbarui daftar buku-buku yang berhasil saya baca di akun Goodreads.

Hal itu mengingatkan pada hari-hari di mana saya mampu mengkhatamkan Don Quixote (maupun The Brothers Karamazov), novel nyaris seribu halaman, dalam sepekan. Itu masa-masa ajaib ketika waktu luang dapat diisi dengan membaca buku sekali (sekira 10—20 halaman) setiap dua jam (satu jam membaca, satu jam istirahat). Jika suatu kali terantuk penat, aturan baca buku itu bisa diubah menjadi lima kali sehari atau tiga kali sehari atau sekali sehari, terserah anda.

Namun, cara itu hanya berhasil pada kedua novel tersebut. Percobaan ketiga dilakukan pada Kura-Kura Berjanggut, dan berakhir membaca novel itu seperti kura-kura yang hanya mampu bergerak secepat-cepatnya 4 mil per jam (karena ini urusan membaca, anda bisa mengganti kata mil dengan halaman). Dan keesokan hari saya menjumpai kura-kura itu kembali mendekam di rak buku.

Kekalahan itu tak boleh menjadi sebab berakhirnya tantangan satu buku sepekan. Pilihan bacaan kini jatuh kepada Tahilalat, sejilid buku puisi. Buku itu tipis saja, sekitar sepersepuluh tebal novel-novel gemuk tadi; hanya memuat 55 puisi, yang berarti dapat dikhatamkan dalam sepekan jika membaca sekitar delapan puisi setiap hari.

Saya membaca puisi-puisi itu setiap malam sebelum tidur, menggantikan kebiasaan membaca cerita-cerita Kisah Seribu Satu Malam—yang terakhir, anda tahu, sebetulnya terkena masalah yang sama dengan si kura-kura. Satu puisi berlalu. Dua puisi berlalu. Empat puisi. Saya mandek dan dihadapkan dengan perenungan; bukan pada maksud filosofis puisi itu, melainkan kenyataan bahwa saya tak semahir kawan-kawan saya dalam membaca, menulis, dan membicarakan puisi. Dan itu terjadi nyaris setiap malam. Sekarang anda tentu tahu nasib buku puisi itu.

Tetapi tenang, seperti yang anda tahu, saya punya banyak buku yang belum terbaca. Kini saya mengambil novel Piknik dari rak. Saya memilihnya sebab saya pikir judul itu mencerminkan kisah di dalamnya. Namun, ia tak seriang judulnya, hingga ketika membaca sekian halaman pertama saya mampu mencapnya sebagai bukan novel (yang dapat dibaca) sekali-duduk, melainkan novel sekali-duduk-sudah-itu-mengantuk. Dan begitulah.

Jadi, bagaimana bisa membaca semua buku, atau satu buku saja dalam sepekan? Tampaknya tak ada solusi untuk masalah itu. Lihatlah, orang-orang di sekitar anda seumur hidup tidak membaca buku pun tidak jadi masalah. Tak sedikit dari mereka membuktikan hal itu. Mereka tetap hidup seperti kucing: gemar makan dan tidur, kadang-kadang menggeram ketika terusik, dan tidak membaca buku.

Sekarang kalau perlu dan memang perlu anda bisa menuntut atas ketiadaan kiat yang tercantum pada judul dan waktu yang berlalu sia-sia ketika membaca tulisan ini, tetapi itu barangkali membuat anda tampak tak banyak belajar dari kekeliruan orang lain. Dengan begitu tulisan ini boleh dijuduli ulang: Kiat Sukses Setidaknya Membaca Buku Meski Tidak Khatam dalam Sepekan. Tentu saja, sebab tantangan membaca buku dalam sepekan bukan berasal dari orang lain, melainkan diri sendiri. Anda bisa menentukan tantangan anda sendiri, atau memilih menjadi seperti kucing. Terserah anda. []

Tinggalkan komentar