Ludmilla Petrushevskya – Pembalasan

Sekali waktu hiduplah seorang wanita yang membenci tetangganya—Ibu tunggal bersama seorang bocah kecil. Seraya anak itu tumbuh dan belajar merangkak, wanita itu terkadang menaruh panci berisi air mendidih di lorong apartemen, atau sewadah penuh pemutih, atau ia menebar sekotak penuh jarum di teras. Ibu malang itu tak mencurigai apa pun—gadis kecilnya belum mulai belajar berjalan, dan ia tak membiarkan anaknya ke lorong itu selama musim dingin saat lantai begitu dingin. Namun waktu cepat berlalu, dan kini putrinya mampu meninggalkan kamarnya sendiri. Sang ibu akan memberi tahu tetangganya, “Raya, sayang, kau menjatuhkan jarum-jarummu lagi,” di mana Raya akan menyalahkan ingatannya yang payah. “Aku sering melupakan sesuatu,” katanya.

Mereka sempat berteman. Dua wanita lajang tinggal di apartemen umum, mereka memiliki banyak kesamaan. Mereka bahkan berbagi teman-teman yang datang bertamu, dan ketika ulang tahun, mereka saling memberi hadiah. Mereka saling menceritakan semuanya. Namun kemudian Zina hamil, dan Raya mendapati dirinya diliputi kebencian. Ia tak tahan seatap di apartemen yang sama dengan wanita hamil itu dan sering pulang larut malam. Ia tak bisa tidur karena ia kerap mendengar suara pria datang dari kamar Zina; ia membayangkan mereka mengobrol dan membuat polah, padahal Zina tinggal di sana seorang diri.

Zina, di lain sisi, menjadi semakin bergantung pada Raya. Sekali waktu ia bahkan mengatakan padanya betapa indahnya memiliki tetangga sepertinya, sewajarnya seorang kakak perempuan, yang tak akan pernah meninggalkannya ketika sedang membutuhkan.

Dan Raya nyatanya memang membantu temannya menjahit pakaian untuk menyambut bayi yang hendak lahir, dan mengantar Zina ke rumah sakit ketika saatnya tiba. Tetapi ia tak datang menjemputnya usai melahirkan, sehingga Zina harus tinggal di rumah sakit lebih lama dan akhirnya membawa pulang si bayi dengan berbalut selimut rumah sakit acak-acakan yang ia janji akan mengembalikannya. Raya mengatakan bahwa ia sedang tak enak badan. Pada pekan-pekan berikutnya, ia tak pernah berbelanja untuk Zina, atau membantunya memandikan si bayi, tetapi malah duduk di kamarnya dengan kompres hangat di pundaknya. Ia bahkan tak sudi melihat bayinya, meski Zina sering membawa gadis kecil itu ke bak mandi atau dapur atau sekadar berjalan-jalan sebentar, dan pintu kamarnya terus terbuka sepanjang waktu, seolah-olah mengatakan: Lihat kemari.

Sebelum sang bayi lahir, Zina belajar cara menggunakan mesin jahit dan mulai bekerja di rumah. Ia tak punya keluarga yang dapat membantunya, dan untuk tetangganya yang begitu baik hati, nah, jauh di lubuk hatinya, Zina tahu ia tak bisa mengandalkan siapa pun kecuali dirinya sendiri—adalah idenya untuk punya anak, dan sekarang ia harus menanggung bebannya. Ketika gadis itu masih sangat kecil, Zina bisa membawa pakaian yang telah jadi ke toko saat si bayi tidur, namun ketika bayinya sedikit lebih besar dan jarang tidur, masalah Zina dimulai: ia harus membawa gadis itu bersamanya. Raya terus mengeluh atas persendiannya yang memburuk, dan bahkan cuti dari pekerjaan, tetapi Zina tak akan sampai hati memintanya mengasuh si bayi.

***

Sementara itu, Raya merencanakan pembunuhan si anak gadis. Semakin sering, ketika Zina membawa anak itu ke apartemen, ia kerap melihat kaleng kecil di lantai dapur penuh dengan apa yang terlihat seperti cairan, atau ketel uap tergeletak di atas bangku—tapi tetap saja ia tak mencurigai apa pun. Ia terus bermain dengan putrinya sebahagia biasanya, berkata padanya, “Bilang Mama. Bilang Mama.” Memang benar, ketika pergi ke toko atau menyudahi pekerjaannya, Zina sering mengunci pintu kamar anaknya.

Hal ini membuat Raya geram. Sekali waktu ketika Zina pergi, gadis itu terbangun dan jatuh dari tempat tidurnya—setidaknya terdengar begitu oleh Raya, yang mendengar sesuatu membentur lantai di kamar Zina, dan kemudian gadis itu mulai menangis. Raya tahu gadis itu belum bisa berjalan sendiri dengan baik, dan ia pasti begitu kesakitan karena ia menangis menyedihkan di balik pintu. Raya tak tahan lagi, dan akhirnya ia mengenakan sarung tangan karet, menuang pemutih ke ember, dan segera mengepel lantai dengan itu, memastikan supaya mengguyurnya sebanyak mungkin di bawah pintu si gadis cilik. Tangisan itu berubah menjadi jeritan memilukan. Raya selesai mengepel, lalu mencuci segalanya—ember, pel, sarung tangan—berdandan, lalu pergi menemui dokter. Setelah ke dokter, ia pergi ke bioskop, jalan-jalan ke beberapa toko, dan pulang terlambat.

Kini gelap dan senyap di balik pintu kamar Zina. Raya menonton televisi sebentar lalu pergi tidur. Tapi ia tak bisa tidur. Zina keluyuran sepanjang malam dan esoknya sepanjang hari. Raya tak tahan lagi. Ia mengambil kapak, menjebol pintu, dan mendapati ruangan itu diselimuti debu tipis, dengan bercak darah kering di sekitar keranjang bayi, dan jejak darah bertebaran ke pintu. Tak ada bekas pemutih. Raya mengepel lantai tetangganya, membersihkan kamar, dan duduk menunggu, tak sabar menanti.

Akhirnya, setelah seminggu, Zina pulang ke rumah. Ia bilang ia telah mengubur anak gadisnya dan memperoleh pekerjaan shift malam. Cuma itu yang ia katakan. Matanya yang gelap dan cekung serta kulitnya yang pucat dan layu menunjukkannya.

Raya tak berusaha menghibur tetangganya, dan kehidupan di apartemen terhenti. Raya menonton televisi sendirian sementara Zina pergi bekerja malam hari lalu tidur siang harinya. Ia tampaknya menjadi sinting karena kesedihan dan menggantung foto putri kecilnya di mana-mana. Peradangan di persendian Raya semakin parah. Ia tak mampu mengangkat lengannya atau bahkan berjalan, dan resep pemberian dokter tak lagi manjur. Pada akhirnya, Raya bahkan tak mampu membuat makan malam untuk dirinya atau mengambil air untuk direbus. Ketika Zina ada di sana ia akan menyuapi Raya, tetapi ia semakin jarang pulang, menjelaskan bahwa terlalu menyakitkan baginya untuk berada di sana, di mana putrinya meninggal. Raya tak lagi bisa tidur karena rasa sakit di pundaknya. Ketika ia mengetahui bahwa Zina bekerja di rumah sakit, ia meminta obat keras penghilang rasa sakit padanya, morfin jika memungkinkan. Zina mengatakan ia tak bisa melakukannya. “Aku tak menyelundupkan obat-obatan,” katanya.

“Maka aku perlu pil-pil ini lebih banyak,” kata Raya. “Beri aku tiga puluh.”

“Tidak. Aku tak membantu mati.”

“Tapi aku tak bisa melakukannya sendiri,” Raya memohon.

“Kau tak akan mudah lepas dari kecanduan,” kata Zina.

Jadi dengan upaya luar biasa, wanita pesakitan itu mengangkat botol pil dengan mulutnya, membuka tutupnya, dan menumpahkan seluruh isinya ke tenggorokannya. Zina duduk di samping tempat tidur. Raya sekarat. Ketika matahari terbit, Zina akhirnya berkata: “Sekarang kau dengarkan aku. Aku berbohong kepadamu. Gadis kecilku masih hidup dan sehat. Ia tinggal di play group, dan aku bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih. Sesuatu yang kau guyurkan di bawah pintu itu bukan pemutih—itu soda kue. Aku menukar kalengnya. Darah di lantai berasal dari Lena yang hidungnya terbentur ketika ia jatuh dari tempat tidur. Jadi itu bukan salahmu. Sama sekali bukan salahmu.”

“Tapi memang bukan salahku. Bahkan salah kita.”

Dan kini, di wajah wanita sekarat itu, ia melihat senyuman perlahan-lahan tenggelam.

 

Catatan:

Cerpen ini diterjemahkan dari judul Revenge karya Ludmilla Petrushevskaya terjemahan bahasa Inggris oleh Keith Gessen dan Anna Summers dalam kumpulan cerpen There Once Lived a Woman Who Tried to Kill Her Neighbor’s Baby: Scary Fairy Tales, Penguin Books, 2009.

Tinggalkan komentar