Tertangkapnya Aku Si Bandit Ulung Pencuri Buku

Kepada para bandit kampus yang menggemaskan.

Hati-hati, akalnya bulus. Pandai bersandiwara pula!

Aku ingin menceritakan salah satu cerita yang paling sering dibicarakan orang di fakultas kami, yakni tentang Aku Si Bandit Ulung Pencuri Buku. Mengapa ia disebut demikian, karena ia telah mahir mencuri sesuatu tanpa seorang pun tahu, bahkan teman dekatnya sendiri. Begitulah sehingga ia mendapat gelar “ulung” setelah julukan yang terdengar cukup profesional—bandit. Mengapa kami sering membicarakannya—bahkan sampai sekarang, karena disadari atau tidak, ia satu dari sedikit kriminal yang membuat kami berpikir bahwa kebiasaan mencurinya ini menjadi semacam kleptomania. Bahkan rasanya hal itu seolah turun-temurun sebagaimana bandit seniornya—rasanya mereka pantas disebut demikian—telah  melakukan tradisi mencolong sejak mereka menjejakkan kaki di kampus ini. Dan kini kasus pencurian terjadi lagi. Buku-buku yang belum sempat beroleh kesempatan dibaca—atau barangkali memang tak hendak dibaca. Tapi itu tetap saja sebentuk pencurian, bukan?—oleh pemiliknya itu telah ia curi kesempatannya untuk ia baca.

Ceritanya sendiri sudah lewat likuran hari yang lalu, ketika kampus telah banyak ditinggalkan penghuninya ngibrit pulang kampung dan pak satpam masih bersikap ramah terhadap warga kampus. Ia seorang yang gesit, hampir selalu muncul di setiap sudut fakultas, sehingga sebagian warga kampus mengenal dirinya. Ia juga periang—apalagi kalau sedang berada dalam koloninya, nongkrong dan ngobrol dengan pengunjung kantin—yang ini juga ia lebih bergirang kalau dengan koloninya, dan rajin pula membantu orang-orang—apalagi kalau ia diberi upah—sehingga warga kampus sesungguhnya menyukainya. Satu-dua kelompok mahasiswa sesekali mengajaknya makan-makan ketika syukuran, dan para dosen yang mengagumi jiwa seninya bahkan memberinya nilai bagus secara cuma-cuma. Namun dari semua kenikmatan itu, ia lebih suka menjalani hidup seadanya ala anak seni, menghuni sudut fakultas bekas gudang yang ia suka menyebutnya “galeri seni”, padahal para mahasiswa memandangnya tak lebih sebagai kandang babi, atau kandang dedemit jika sesekali menampakkan penghuni sebenarnya. Dan ia menjadi mahasiswa paling bebas dari petak-petak ruang kelas karena teman-teman yang bersimpati padanya sering memalsukan tanda tangan kehadirannya dengan senang hati.

Jika para mahasiswa keluar dari kelas atau mereka yang mondar-mandir kebingungan mencari kelas melewati galeri kecil tempat tinggalnya, ia selalu tampak duduk di atas ember cat bekas sedang menggenjreng-genjreng gitar buluknya yang terdengar sumbang serta menyanyikan sebuah lagu yang hanya ia sendiri yang tahu. Kadang saking keras suara yang ditimbulkannya, tak jarang mahasiswa atau dosen menegurnya. Tapi sejenak setelah mereka kembali lenyap masuk ruang kelas, bebunyian itu akan terdengar kembali, dan kali ini mereka harus pasrah karena jika ditegurnya lagi, hal itu akan kembali terulang.

Asal-usulnya sendiri tak begitu jelas. Tak banyak yang mengetahui perihal diri atau perkuliahannya kecuali teman-teman sekelasnya dan para koloninya tentu saja. Bahkan terkadang orang-orang mengira ia anak seni padahal ia jelas-jelas tak kuliah di fakultas seni. Kalau kuliah ia kerap berpenampilan perlente serupa guru—para mahasiswa pendidikan kerap sebal dengan peraturan aneh semacam itu. Mereka yang kuliah di sana belum tentu pengin menjadi guru, bukan?—Ia jelas kuliah di fakultas pendidikan, tapi tampaknya ilmu-ilmu yang diajari di sana tak benar-benar mendidiknya. Ia sudah ada di sini, di fakultas kami, sejak kami masuk menjadi mahasiswa baru untuk pertama kali. Konon jumlah semesternya telah mencapai dua digit. Namun penampilannya sangat menipu, seperti mahasiswa anyar sore lalu.

Ia telah lama menghuni kampus hingga ia tahu betul perkembangannya dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, bahkan hari ke hari. Ia seolah menjadi sejarawan kampus yang para petinggi kampus belum tentu sudi mengurusi hal itu. Semakin hari ada saja perubahan di sana-sini. Gedung-gedung baru dibangun supaya orang-orang dapat bergirang hati menggelar acara peresmian fakultas baru. Jumlah mahasiswa tentu saja bertambah banyak—begitu juga ongkos belajarnya. Perayaan mahasiswa baru semakin ingar bingar serta mewah tak karuan. Sedangkan di sekitar fakultasnya, lahan kosong di seberang taman gersang dibangun tempat parkir baru supaya dapat menampung banyak kendaraan membuang capek setelah ditunggangi pemiliknya berkali-kali. Semakin banyak lahan untuk didiami kendaraan, semakin banyak pula kesempatan perampok motor untuk beraksi. Mereka mampu membawa pulang motor secara cuma-cuma tanpa dipotong pajak, apalagi ongkos parkir. Namun yang demikian itu membuat pihak kampus beroleh ide cemerlang untuk menanggulanginya dengan menyumpal gerbang-gerbang utama kampus dengan portal bertenaga seperangkat mesin dan komputer serta manusia kikuk dalam bilik yang dijaga sepenuh hati—ah, tapi kadang juga setengah hati. Maklum, manusia—pagi dan siang dan malam. Portal yang nyaris setiap saat terangguk-angguk itu kadang ngambek dan tak mau membuka atau menutup sepanjang hari. Hal itu membuat antrean semakin mengular, dan tak jarang membuat penjaganya ngambek pula dan membuka lebar-lebar si portal karena kesal.

Kampus kami menjadi begitu modern. Tapi dari semua perubahan itu, yang membuat senang para mahasiswa penghuni kampus adalah gedung pusat kegiatan mahasiswa yang tampaknya mulai dilirik pihak kampus untuk dipelihara. Barangkali mereka kasihan melihat para mahasiswa menempati gedung yang sumber airnya mampet dan lantainya bolong-bolong tak genap serupa puzzle. Kadang-kadang penghuni yang tak kuat menahan keinginannya untuk membuang isi perut menghujani kakus dengan sampah-sampah perutnya tanpa bisa membanjurnya, sehingga menjadi sumber horor di toilet itu. Oh, tapi hal lain yang benar-benar membuat mereka senang adalah jatah duit tiap kelompok mahasiswa yang semakin lancar mencair. Orang-orang yang doyan duit dan sedikit nakal kadang-kadang menaruh sebagian uang itu di kantung-kantung yang salah, yang apabila terendus ia akan berdalih bahwa itu demi kesejahteraan bersama di kemudian hari. Tapi lihatlah, para pekerja seni, jurnalis, olahragawan, rohaniawan, dan mereka yang tak jelas profesinya semakin gembira melihat tempat tinggalnya semakin ciamik, peralatannya semakin lengkap, serta kebahagian-kebahagiaan lainnya yang terlalu berlebihan jika disebutkan di sini.

Tetapi di antara orang-orang yang berbahagia dengan perkembangan kampus, justru adalah Si Bandit Ulung sendiri.

Suatu hari di sebuah siang yang sepi, para jurnalis kampus terkejut mendapati beberapa koleksi bukunya lenyap sekembalinya ke kantor yang tak sampai sebulan mereka tinggalkan. Mereka menebak bahwa tak salah lagi, ini ulah cecunguk itu; Si Bandit Ulung. Ternyata ulahnya itu juga membuat warga kampus resah terhadapnya. Tempo lalu beberapa barang milik kelompok mahasiswa raib. Televisi, seperangkat pengeras suara, tetikus, kipas angin, papan tulis, karpet, kuas dan cat lukis, buku-buku, pakaian, sandal, bahkan kloset duduk di toilet yang airnya mampet itu pernah ia gasak pula. Orang-orang mulai tak lagi menyukainya, dan mulai menjauhinya. Pada saat itulah sebenarnya ia mulai dipanggil dengan nama Si Bandit Ulung menggantikan nama asing yang disandang sebelumnya, yang aku sendiri sudah lupa siapa nama sebenarnya. Kalau ditanya siapa namanya, ia akan menjawab, “Aku.” Ia menjawabnya dengan nada seolah balik bertanya dan membuat si penanya kembali bertanya sebelum ia menegaskan begini, “Ya, namaku Aku.” Kini ia menjadi musuh sebagian warga kampus yang tak benar-benar mampu membuktikan kesalahannya. Setelah para jurnalis kampus beserta korban-korban lainnya melaporkan kehilangan yang ganjil itu, satpam kampus berniat akan menangkapnya.

Bayangkan, ia mencuri buku!—Orang aneh mana yang sudi mencuri buku? Barang yang tak terlalu berharga jika dijual kembali, juga tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari penggunanya. Betapa marahnya kami. Orang tua kami di rumah, dan dosen kami di kampus, dan ustaz kami di masjid, selalu mengatakan bahwa mencuri itu perbuatan terkutuk. Berdosa. Dan sekarang Si Bandit Ulung mencuri buku di kantor para jurnalis kampus! Mungkin jika satu-dua buku saja yang dicurinya, mereka tak akan ambil pusing. Tapi ia mencuri belasan buku sekaligus! Entah berapa buku yang pernah ia sikat dari perpustakaan kampus. Di kemudian hari perpustakaan kampus juga melaporkan kehilangan atas buku-bukunya. Aku dan beberapa temanku pergi ke tempat persembunyiannya, untuk menangkap si pencuri berdosa itu, dan memberikannya kepada bapak satpam. Tapi ketika kami sampai di tempatnya, ia tak ada di sana, seolah tahu bahwa kami hendak menyergapnya sejak ide penggerebekan itu masih di dalam batok kepala.

Demikianlah ia kemudian dikenal di kampus kami sebagai Si Bandit Ulung Pencuri Buku. Para korban tindakan kriminilnya sangatlah marah, sehingga mendatangi pos satpam dan mendesak bapak-bapak satpam untuk menangkapnya.

“Jika tidak,” kata para korban itu, “Kami akan melaporkannya ke atas, atau mengumumkannya di koran kampus. Kalian bisa dipecat karena itu.”

Terhadap ancaman seperti itu, bapak-bapak satpam mencoba menenangkan mereka, terlebih para jurnalis kampus yang tampak paling bersungut-sungut. “Pikirkanlah,” kata salah satu satpam itu. “Buku-buku kalian memang dicuri oleh pencuri tolol itu. Bukankah itu akan membuatnya menjadi pintar dan kemudian tersadar akan kejahatannya? Dan kalian pasti sudah membacanya. Mengapa tak berbagi kesempatan dengannya pula?”

“Tapi sebagian dari buku-buku itu milik penerbit,” kata salah satu jurnalis kampus yang tampaknya masih tak terima, “Mana mungkin kami menggantinya sendiri.”

“Alah, penerbit kan duitnya banyak. Bilang saja kalau buku-bukunya dicuri orang. Mereka bisa memproduksinya kembali,” jawab satpam yang sedari tadi meladeni pertanyaan kami. Sedangkan satpam lainnya mematung seperti tentara mainan. “Penerbit telah memperoleh banyak uang. Tak ada artinya dengan buku yang tak seberapa itu.”

Tapi salah satu jurnalis kampus itu beranjak mendekat dan berkata bahwa ia akan melaporkan ke atas bahwa para satpam di kampus kami tak ada yang mau menangkap seseorang yang jelas-jelas telah banyak mencuri barang orang lain. Ia juga mengancam akan menulis tentang keengganan para satpam bekerja di media miliknya—yang satu ini tampaknya sukses membuat si satpam ketakutan.

“Baiklah,” kata pak satpam akhirnya. “Kami akan menangkapnya.”

Dan pulanglah para jurnalis kampus beserta korban-korban kehilangan itu.

Sejak hari itu, Aku Si Bandit Ulung Pencuri Buku menjadi buronan. Tapi bukanlah perkara mudah menangkap orang segesit itu. Ia bisa berlari kencang dan menyelinap lebih lihai daripada bapak-bapak satpam. Dan tempat persembunyiannya di “galeri seni” di sudut fakultas, tak pernah diketahui oleh satpam, karena dari luar tempat itu masih tampak seperti sebelumnya, kumuh dan nyaris tertimbun barang rongsokan.

Satpam didesak supaya terus mencari dirinya. Hingga suatu ketika mereka mulai mencium keberadaannya di salah satu gudang di sudut kampus. Mereka tak menyangka di balik timbunan barang rongsokan itu ada pintu menuju gudang yang telah ia sulap menjadi galeri seni. Suatu malam, dua orang satpam dikirim untuk menelusuri sudut fakultas itu, mencarinya, dan jika ketemu, segera menangkapnya. Kedua satpam itu mulai menjelajah sudut fakultas pada pukul sepuluh malam. Belum sampai tengah malam tapi di sana  suasana telah menjadi menakutkan. Lampu-lampu di gedung itu banyak yang mati. Mereka menyorotkan lampu senternya ke sana-kemari, mengaduk-aduk rongsokan, tapi Aku Si Bandit Ulung Pencuri Buku tak menampakkan diri.

“Aku heran,” kata salah satu satpam itu. “Di kampus ada puluhan pencuri sepertinya, tapi tak akan membuat satpam sesibuk kita di sini.”

“Ya,” satpam yang satu lagi menyetujui. “Andai saja pencuri itu ….” Ia belum tuntas mengatakan pengandaiannya karena tiba-tiba terdengar bunyi sesuatu jatuh dari arah kamar mandi tak jauh dari situ. “Setan!”

Kedua satpam itu langsung ngibrit tak lagi menjerit. Lebih mengejutkan, seseorang dalam kamar mandi yang tak sengaja menyenggol gayung di bibir bak mandi itu menjadi ketakutan pula, dan sekonyong-konyong keluar dari sana tanpa sempat mengenakan celana apalagi celana kolornya. Demi setan apapun, ia akan terpojok dalam bilik kamar mandi itu jika tak segera kabur. Walaupun ia sudah terbiasa tinggal di sana, tapi untuk urusan setan pasti menyerah. Apalagi malam ini ia tinggal sendirian di sana.

Para satpam itu membalik badan dan menyorotkan lampu senternya ke muka seseorang itu. Ternyata ia merupakan orang yang sedang mereka cari-cari. Orang itu lari kembali ke dalam kamar mandi dan satpam mengejarnya. Mereka berhasil menangkapnya dan mendapati orang itu mengenakan celana kolor berwarna hijau, tapi ia jelas bukan kolor ijo. Dan, aih, kau bisa membayangkan bagaimana bau busuk di kamar mandi itu. Sampah-sampah keparatnya belum sempat dibanjur. Barangkali ia juga belum sempat membersihkan diri pula. Setelah bapak satpam menyuruhnya membereskan semua itu, ia diinterogasi.

“Kau yang mencuri buku-buku para jurnalis kampus itu, heh?” tanya salah satu satpam. Matanya melotot dan telunjuknya mengacung kepadanya. “Juga barang-barang mahasiswa lain yang aku tak hafal apa saja.”

Dengan tampang memelas sekaligus ketakutan, pencuri itu berkata: “Ampun, Bapak Satpam. Aku mencuri buku-buku itu karena tak tahu lagi di mana bisa mendapatkannya. Teman-temanku hanya punya buku-buku kuliah yang menjemukan. Perpustakaan kampus tak punya koleksi semacam itu. Lapak buku jalanan digusur bapak polisi. Bagaimana dengan toko buku? Uangku jelas tak memungkinkan untuk itu. Lalu aku tahu di kampus ini hanya para jurnalis kampus yang memiliki buku-buku seperti itu, dan aku mengambilnya sembunyi-sembunyi ….”

Ia masih memelas dan semakin memelas ketika kedua satpam itu menangkap tangannya, dan menyeretnya ke pos satpam saat itu juga dengan dibonceng motor—posisinya seperti seorang bocah yang diapit kedua orang tuanya. Atas tertangkapnya pencuri ulung itu, pak satpam menjadi senang karena mereka tak perlu mengurusi hal sepele itu lagi, dan para korban kehilangan merasa bahagia karena tak ada lagi yang menghantui barang-barang miliknya.

Para sahabatku, demikianlah Aku Si Bandit Ulung Pencuri Buku ditangkap, dan demikian pulalah cerita ini berakhir.

2019

Catatan:

Cerpen ini merupakan parodi dari cerpen “Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti” karya Eka Kurniawan.

Tinggalkan komentar